-->

Candi Dieng

Candi Dieng merupakan warisan sejarah yang berada di wilayah dataran tinggi Dieng, di ketinggian kurang lebih 2000 meter di atas permukaan laut. Candi-candi di dataran tinggi Dieng merupakan peninggalan Hindu, beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun oleh beberapa generasi, yaitu sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi. Diduga Candi Dieng merupakan candi tertua di Pulau Jawa, dan hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti tertulis yang mampu mengungkap sejarah keberadaannya. Namun begitu, beberapa penulis dan pakar sejarah menyimpulkan bahwa Candi Dieng menjadi tonggak perkembangan peradaban di Pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Sejarah Candi Dieng

Diperkirakan Candi Dieng dibangun atas perintah raja-raja dari Wangsa Sanjaya, salah satu wangsa terbesar di Pulau Jawa yang mencapai puncak kejayaannya pada jaman Majapahit. Beberapa ahli berpendapat bahwa candi Dieng dibangun melaui dua tahap yaitu tahap pertama berlangsung di akhir abad ke-7 Masehi hingga seperempat abad ke-8 Masehi. Sedangkan tahap kedua berlangsung sekitar abad ke-8 Masehi hingga abad ke-13 Masehi. Berdasarkan dari bentuknya, diperkirakan beberapa candi yang dibangun pada tahap pertama merliputi Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca.

Meskipun prasasti tertua di Indonesia ditemukan di Kuta dan prasasti tertua di Pulau Jawa ditemukan di Bogor, ditepi sungai Ciaruteun, namun peninggalan arsitektural dan monumental (terbuat dari batu) baru dimulai pada abad ke-8 Masehi. Sehingga banyak ahli dan penulis yang meyakini bahwa Candi Dieng merupakan bangunan monumental pertama di Indonesia. Tak mengherankan jika dalam buku berjudul "Mata Air Peradaban", disebutkan bahwa Candi Dieng kemungkinan telah dibangun pada masa Kerajaan Holing atau Kaling. Lebih jauh lagi, dalam buku tersebut diungkapkan bahwa Dieng memiliki peran penting dalam konstelasi sosial politik yang signifikan.

Candi Dieng

Segi Lokasi Candi Dieng

Dari segi lokasi, pembangunan candi-candi di Dieng telah memenuhi ketentuan dan aturan yang telah digariskan dalam kitab-kitab Vastusastra. Ada beberapa kitab Vastusastra, antara lain Manasara, Silpa-prakasa, dan Visnudhamottaram. Terutama jika mengacu pada kitab Manasara, pembangunan Candi Dieng telah memenuhi hampir semua ketentuan dan aturan, diantaranya adalah berada di pegunungan atau puncak bukit, hutan, mata air (Tuk Bima Lukar), dan telaga (Bale kambang). Konon, kriteria tempat seperti itu menjadi kesenangan para dewa. Pembangunan candi di wilayah pegunungan dimaksudkan agar candi-candi tersebut memiliki kedekatan dengan "puncak", yang diinterpretasikan sebagai pusat kosmis sekaligus kahyangan para dewa.

Candi Dieng

Arsitektur Candi Dieng

Diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, kemungkinan bangunan-bangunan terbuat dari bahan ringan, seperti kayu dan bambu. Bangunan dari bahan ringan tersebut ada di kompleks percandian Dieng, yakni di Situs Darmasala. Diperkirakan bangunan dari bahan kayu atau bambu pernah dibangun di atas bangunan profan yang saat ini sudah hancur, tinggal pondasi dan umpak-umpak saja.

Secara arsitektural, Candi Dieng memperlihatkan tipe ideal budaya peralihan, yakni peralihan dari bangunan berbahan kayu ke bangunan berbahan batu. Selain itu, peralihan juga tampak pada gaya arsitekturnya, yaitu dari arsitektur India ke gaya lokal. Candi-candi yang dibangun pada masa klasik awal secara sepintas tampak seperti bangunan candi di India. Namun, jika dilihat lebih detil akan tampak beberapa perbedaan. Candi-candi klasik awal lebih berkesan tambun dan kekar, serta detail hiasannya berbeda. Arsitektu bangunan seperti itu bisa dilihat pada Candi Semar, Candi Gathotkaca, dan Candi Dwarawati. Ruang utama candi (garbhagrha) terdapat di pusat bangunan atau halaman.

Sedangkan candi-candi pada masa klasik akhir sudah menunjukkan perbedaan yang nyata dengan gaya arsitektur India. Candi pada masa klasik akhir ini lebih berkesan ramping, karena atapnya menjulang tinggi ke atas. Garbhagrha tidak terdapat di pusat bangunan, tetapi agak bergeser ke belakang.

Melihat adanya perbedaan yang cukup nyata pada gaya arsitektur Candi Dieng yang menunjukkan prototipe candi pada masa klasik awal dan klasik akhir, serta adanya bekas-bekas bangunan dari bahan ringan, tentunya candi-candi di wilayah Dieng tidak dibangun oleh satu generasi saja.

Candi Dieng

Penemuan Candi Dieng

Meskipun sudah dibangun ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, namun Candi Dieng baru ditemukan kembali pada tahun 1814. Saat itu, seorang tentara Inggris sedang berwisata ke dataran tinggi Dieng dan melihat beberapa candi yang terendam air telaga. Penemuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan upaya pengeringan air telaga, dilakukan pada tahun 1856 dan dipimpin oleh Van Kinsbergen. Beberapa tahun kemudian, yakni pada 1864, pemerintah Hindia Belanda melakukan pembersihan di area candi, yang kemudian dilanjutkan pencatatan dan pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.

Candi Dieng

Candi-Candi Di Dieng

Candi-candi di Dieng terbagi dalam tiga kelompok dan satu candi yang berdiri sendiri. Ketiga kelompok tersebut adalah kelompok candi Arjuna, Gathotkaca, dan Dwarawati. Sedangkan satu candi yang berdiri sendiri adalah Candi Bima, yang berada di salah satu bukit. Pemberian nama Candi Dieng berdasarkan tokoh-tokoh pada cerita wayang dari kitab Mahabarata. Berikut beberapa candi yang ada di Dieng.
  • Kelompok Candi Arjuna
    • Candi Arjuna
    • Candi Semar
    • Candi Srikandi
    • Candi Sembadra
    • Candi Puntadewa
  • Kelompok Gatutkaca
    • Candi Gatutkaca
    • Candi Setyaki
    • Candi Nakula
    • Candi Sadewa
    • Candi Petruk
    • Candi Gareng
  • Kelompok Dwarawati
    • Candi Dwarawati
    • Candi Abiyasa
    • Candi Pandu
    • Candi Margasari
  • Candi Bima

Referensi :

http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_dieng

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Candi Dieng"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel